Author Archives: Jurnal Budaya Pariwisata

Topeng Blantek Hyper Realitas Budaya Betawi

GambarKebudayaan merupakan sebuah identitas baik pada sebuah Negara secara umum dan khususnya masyarakat yang menciptakan kebudayaan tertentu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa sebuah kebudayaan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kebudayaan adalah hasil sesuatu yang diciptakan dari kebiasaan masyarakat. Interaksi antar sesama individu dimasyarakat secara tidak langsung telah membentuk hubungan yang erat. Interaksi sangatlah penting dalam membentuk pola hubungan dimasyarakat. Proses ini dapat saling berhubungan dan saling mempengaruhi, sehingga pola dimasyarakat tersebut dapat terjadi dan tersosialisasi. Hubungan interaksi yang saling mempengaruhi ini dapat menjadikan proses kekerabatan dan bahkan keterikatan satu dengan yang lain. Dalam interaksi dimasyarakat Betawi, antar sesamanya secara tidak langsung telah menciptakan budaya. Budaya masyarakat Betawi sendiri dapat terlihat pada pola bahasa dan prilaku mereka sehari-hari. Dari hal yang demikian itu, nantinya masyarakat membentuk suatu hasil budaya sebagai simulasi dari budaya mereka. Secara sosiologi, masyarakat Betawi antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Biasanya hal tersebut terjadi pada kalangan sesepuh Betawi. Namun, tidak menutup kemungkinan para generasi muda Betawi juga memiliki hal yang sama. Ini dapat terlihat dengan banyak dan berkembangnya organisasi pemuda Betawi. Demikian halnya dengan Topeng Blantek yang merupakan hasil budaya dari masyarakat Betawi pada jaman penjajahan. Topeng Blantek tersebut ada karena masyarakat Betawi mempunyai sesuatu budaya yang dapat menjadi simbol kesukuannya. Namun, seni budaya masyarakat Betawi banyak jumlahnya, tapi tidak menyurutkan ciri khas Topeng Blantek. Topeng Blantek sendiri merupakan “hyper realitas” dari budaya masyarakat Betawi. Topeng Blantek merupakan implementasi dari kehidupan masyarakat Betawi yang menjadi bagian dari seni budaya Betawi dan ini menunjukkan bahwa eksistensi seni budaya Betawi masih dapat bertahan. Topeng Blantek pada setiap pertunjukannya memiliki makna-makna yang terkandung didalamnya. Makna tersebut pada umumnya adalah sebuah pesan moral yang disampaikan dan diinformasikan kepada masyarakat luas. Makna dan pesan moral yang disampaikan mengandung nilai-nilai positif. Akan tetapi yang terpenting bahwa Topeng Blantek masih ada dan tetap eksis di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat Betawi ingin segala tindakan ataupun pemikiran harus terus maju dan berorientasi pada pengembangan kedepan. (ziz)

(sumber : skripsi faisal amrin bachtiar, fis unj sosiologi)

Topeng Blantek Dalam Dunia Pendidikan

GambarYang dimaksud dengan pola pendidikan bahwa budaya dapat memberikan nilai-nilai pendidikan pada masyarakat. Nilai-nilai tersebut bisa berupa sebuah hal-hal yang perlu ada dalam masyarakat. Seni Budaya bukan hanya sebatas sebuah pertunjukan atau pementasan saja, tapi ada makna yang tersirat dalam budaya tersebut yang memberikan nilai positif tersendiri bagi masyarakat. Setiap budaya pasti memiliki makna dalam penyampaiannya, walaupun terkadang respon masyarakat berupa penafsiran ataupun hanya sebatas hiburan. Sama halnya dengan Topeng Blantek ini juga memiliki makna nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Nilai-nilai itupun juga bersifat relative jika setiap masyarakat memiliki interprestasinya sendiri. Namun, hal yang perlu diperhatikan bahwa intinya Topeng Blantek memiliki sebuah nilai-nilai yang juga bisa berarti tuntunan. Topeng Blantek merupakan hasil budaya masyarakat Betawi pada saat ini termajinalkan. Masyarakat sebagian belum mengetahui Topeng Blantek, dibandingkan Topeng Betawi dan Lenong.  Padahal dalam Topeng Blantek ini juga merupakan warisan penting dari para pendahulu. Warisan penting tersebut karena ada sisi baik yang harus diketahui masyarakat luas, khususnya masyarakat Betawi. Sisi baik ataupun sebuah nilai yang terkandung adalah aspek moral, agama dan sosiologis. Ketiga aspek tersebut selalu disampaikan pada pertunjukan Topeng Blantek. Para seniman Topeng Blantek menginginkan bahwa secara tidak langsung memberikan nilai-nilai positif dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk pertunjukan. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya sebatas mengetahui Topeng Blantek saja, tapi terlebih kepada nilai-nilai yang terkandung pada setiap pertunjukan Topeng Blantek. Namun, pada kenyataannya kini Topeng Blantek keberadaannya telah lama redup dan bahkan hampi punah. Pola pendidikan yang terbentuk melalui pertunjukan Topeng Blantek disampaikan secara universal dan memiliki banyak manfaat, baik itu bagi diri sendiri maupun masyarakat. Aspek moral, agama dan sosiologis adalah tiga hal penting yang harus dijalankan. Pembentukan pola tersebut dapat terjadi pada saat masyarakat melihat dan memahami isi cerita pertunjukan Topeng Blantek. Ditambah lagi bahwa keberadaan peran Jantuk yang memberikan keterangan intisari cerita mulai dari awal dan akhir pertunjukan serta memberikan sebuah solusi. Intisari cerita pada setiap pertunjukan Topeng Blantek merupakan bentuk dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat. (ziz)

(sumber : skripsi faisal amrin bachtiar, fis unj sosiologi)

 

Sejarah Singkat Kesenian Betawi

GambarData tahun 1986 terdapat tak kurang dari 579 sanggar atau organisasi kesenian Betawi dari berbagai jenis. Sanggar kesenian rebana kasidah memang paling dominan, diikuti gambang kromong dan lenong. Namun pembangunan kota yang tak terkendali, pada saatnya memberangus penduduk lokal. Tatanan kemasyarakatannya pun berantakan. Masyarakat Betawi berhamburan kesegala arah wilayah Botabek, seraya tak hirau dengan tatanan tradisi yang selama hidupnya dijadikan sandaran. Mulailah sanggar kesenian Betawi berguguran satu demi satu. Akhirnya pada medio 2000-an sanggar seni Betawi yang eksis dan terdaftar tak kurang dari 80-an grup. Saat ini, kondisi seni budaya Betawi terbagi dalam empat kelompok. Pertama kelompok punah, kedua kelompok mengkhawatirkan, ketiga kelompok bertahan dan keempat kelompok maju. Kelompok Punah, misalnya buleng, ubrug, tari uncul, sampyong, ujungan, wayang senggol, wayang sumedar. Kelompok mengkhawatirkan, seperti rancag, jantuk, blantek, rebana biang, pobin/lagu dalem, bengkong, dukun beranak, jampe dan pengobatan, sohibul hikayat, kuliner, kosa kata. Kelompok bertahan, antara lain sambrah, maen pukulan, lenong, topeng, ondel-ondel, tanjidor, wayang kulit, adat siklus hidup (nujubulan, pindah rumah, sunat). Kelompok maju, seperti tari, lawak, tata busana, kuliner. Secara umum masyarakat Betawi masih sangat mencintai keseniannya. Diberbagai kampung masih eksis kesenian yang segala dikelola oleh organisasi kesenian atau sanggar. Bahkan hasrat mendirikan organisasi kesenian kian masip seiring maraknya bermunculan ormas Betawi, pada tiap cabang mendirikan sanggar kesenian. Sanggar yang ada dapat pula diklasifikasikan sebagai, pertama sanggar tradisional yang dikelola secara tradisional dan turun menurun, belum memiliki AD/ART, tak melakukan latihan rutin, tak ada pembukuan, tak dapat melakukan peremajaan. Kedua sanggar modern merupakan sanggar yang dikelola dengan cara modern dan ketiga sanggar abal-abal, yakni sanggar pelengkap penderita yang didirikan oleh ormas Betawi. Dari data statistik Pemprov DKI Jakarta tahun 2000 oleh BPS bahwa jumlah penduduk Jakarta sebanyak 8.347.083 dengan komposisi penduduk menurut etnik sebagai berikut : Jawa (2.927.340), Betawi (2.301.587), Sunda/Priangan (1.271.531), Cina (460.002), Batak/Tapanuli (300.562), Minangkabau (264.639), Melayu (83.172), Melayu/Palembang (51.305), lainnya (664.569). Walaupun etnik Betawi hanya 22 persen dari seluruh penduduk Jakarta, namun Pemprov DKI Jakarta memiliki kewajiban melestarikan dan memanfaatkan seni budaya Betawi. Hal itu sesuai dengan UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai ibukota NKRI. Selain itu di Bab V Pasal 26 Ayat 6 dikatan bahwa Pemprov DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di daerah Prov DKI Jakarta. Atas dasar UU tersebut, harapan masyarakat Betawi sangatlah wajar. Apalagi konsepnya adalah menjadikan Jakarta sebagai kota budaya bertaraf internasional. (ziz)

(sumber : lembaga kebudayaan betawi)

Topeng Blantek Salsul

GambarTopeng Blantek berasal dari dua suku kata, yaitu Topeng dan Blantek. Istilah Topeng berasal dari bahasa Cina di jaman Dinasty Ming dari asal kata To dan Peng. To artinya Sandi dan Peng artinya Wara, jadi Topeng itu dapat diartikan Sandiwara. Sedangkan kata Blantek berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengirinya, yaitu satu rebana biang, dari dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi “blang blang crek”. Namun karena lidah lokal dalam penyebutannya muncullah istilah Blantek. Selain itu, Blantek juga berasal dari bahasa Inggris, yaitu Blindtexs yang berarti buta naskah. Ada yang mengatakan bahwa permainan Blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sang sutradara hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar cerita yang akan dimainkan. Mulanya Topeng Blantek berasal dari kesenian tradisi Betawi Topeng dan Blantek. Topeng merupakan kesenian tradisi Betawi yang menggunakan Topeng dengan musik pengiring gamelan. Ceritanya legenda masyarakat Betawi yang menonjolkan kejawaraan dan kepahlawanan. Disebut Topeng karena tokoh pada saat itu menggunakan Topeng dan pembukaannya dimulai dengan Tari Topeng yang bertujuan untuk mengumpulkan penoton. Namun Blantek merupakan permainan rakyat anak pengangon setiap waktu istirahat mereka berdialog menirukan Toniel dan digelar tanpa panggung, gamelan, tapi menggunakan music mulut serta alat perabotan seadanya. Namun seiring dengan berkembangnya Teater Tradisi Betawi, maka Topeng dan Blantek menjadi satu kesatuan yang utuh dan kini disebut Topeng Blantek, yakni perpaduan Topeng dan Blantek. Keberadaan Topeng Blantek berawal dari pemberontakan masyarakat Betawi terhadap politik, penjajah bahkan terhadap seniman Betawi itu sendiri. Keberadaan Topeng Blantek tidak begitu disukai oleh sekelilingnya dan banyak kesalahpahaman terhadap apa itu Topeng Blantek hingga kini. Sehingga kondisi tersebut menimbulkan perbedaan pendapat bahkan permusuhan yang disinyalir oleh sebagian kalangan dianggap sebagai politisasi seni dan persaingan budaya. Hal tersebut mengakibatkan apresiasi masyarakat terhadap Topeng Blantek kurang dikenal, lain halnya Lenong yang dikenal oleh masyarakat. Bahkan berlanjut kepada pemahaman masyarakat bahwa setiap pertunjukan-pertunjukan Teater Tradisi Betawi lainnya selalu saja dianggap oleh masyarakat itu adalah pertunjukan Lenong. Sehingga seiring dengan waktu yang terus berjalan bahwa Topeng Blantek pun berangsur-angsur kalah dan raib digerus dengan keberadaan Lenong. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa Topeng Blantek menjadi sebuah pertunjukan berawal dari para pedagang di tanah Betawi yang menawarkan dagangannya melalui celoteh-celoteh (kata-kata). Dari celotehan tersebut, kemudian menjadi sebuah pertunjukan yang menarik dan asriratif. Pedagang-pedagang tersebut kebanyakan dari kalangan ahli agamaIslam yang pada akhirnya mempergunakan Topeng Blantek sebagai media penyebaran agama Islam melalui celoteh-celotehan yang sarat pesan dakwah, pendidikan dan penerangan kepada masyarakat. (ziz)

(sumber : skripsi aji warsono fsp ikj jakarta )

Sejarah Singkat Topeng Blantek Betawi

GambarTopeng Blantek itu ada, bermula dari orang-orang pasar. Sambil menunggu hari pasar, mereka memainkan lakon. Lakon yang dimainkan adalah seputar kehidupan sehari-hari masyarakat dengan menggunakan alat musik dan dekor seadanya. Topeng Blantek mempunyai arti adalah Topeng berarti Pertunjukan dan Blantek berarti Tanpa Tek. Jadi dapat disimpulkan bahwa Topeng Blantek itu adalah bermain lakon tanpa naskah dan sangat mengandalkan improvisasi serta didukung dengan tetabuhan musik seadanya. Pengertian tentang Topeng Blantek yang berkembang tak menjadi soal, seniman Topeng Blantek terus berkarya. Topeng Blantek tumbuh dan berkembang diwilayah pinggiran dan berkaitan dengan keberadaan Teater Rakyat Betawi lainnya, seperti Topeng Cisalak, Topeng Tambun, Topeng Tangerang, Lenong Preman, Lenong Denes, Jipeng, Jinong. Dilihat dari segi materi dan pemanfaatan seluruh pertunjukan Topeng Blantek yang paling menonjol adalah lakonnya berfokus dialog dan lelaku serta bersetting yang dihiasi dengan tiga buah sundung dan satu obor. Dengan demikian, Topeng Blantek sudah sepantasnyalah dipertunjukkan sebagai sarana dakwah, pendidikan dan penerangan  yang cukup efektif. Sebab, selain unsur hiburan yang disuguhkan, juga ada dialog yang terjadi antara pemain dengan penonton dan biasanya disampaikan oleh bebodor. Sehingga, pertunjukan Topeng Blantek sangatlah mudah disisipi dengan pesan dakwah, pendidikan dan penerangan. Pada saat Pemerintah sedang menggalakkan program Bimas/Inmas, KB, 8 Tertib Hukum dan tema-tema pembangunan lainnya, Topeng Blantek sangat banyak berperan dalam mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Kini Topeng Blantek sangat merindukan saat-saat indah tempo dulu dan tetap terus berkarya. (ziz)

(dari berbagai sumber)

 

Sejarah Singkat Topeng (Kedok) Betawi

GambarDalam seni pertunjukan rakyat topeng atau kedok adalah alat penutup seluruh atau sebagian muka untuk merubah penampilan pelaku, agar dapat dianggap sesuai dengan yang diperankan. Alat perubah penampilan yang menutup sebagian atau seluruh tubuh biasa disebut barong atau barongan, seperti ondel-ondel diwilayah budaya Betawi, badawang di Priangan, barongan buncis di Jawa Tengah dan barong landing di Bali. Rupanya pertunjukan topeng di wilayah budaya Betawi sudah biasa diselenggarakan pada masa sebelum Agama Islam tersebar. Hal itu terbukti dari informasi yang terdapat dalam naskah Sanghiyang Kanda(ng) Karesian bertitimangsa 1440 Saka atau 1518 Masehi. Naskah tersebut ditemukan di Kebantenan, sekarang termasuk Kelurahan Jatiasih, Bekasi. Data tertulis kemudian tentang keberadaan pertunjukan topeng di wilayah budaya Betawi adalah karya Hardouin dan Ritter yang terbit pada 1854 di Leiden, Negeri Belanda. Deskripsi tentang pertunjukan topeng pada awal abad 19, jadi kurang lebih 2 abad yang lalu, sebagaimana dikemukakan dalam buku tersebut, tidak jauh berbeda dengan yang biasa kita lihat dewasa ini. Pada babak lipet gandes, contohnya, baik busana maupun konvensi penampilannya tampak sama, kecuali tutup kepala ronggengnya berbentuk tekes seperti topeng Cirebon, serta bodornya mengenakan kedok Pentul. Perbedaan lainnya adalah dalam membawakan cerita atau lakon, para pelakunya juga mengenakan topeng, sesuai dengan tokoh yang diperankan. Contohnya, untuk memerankan seorang Belanda, pelakunya mengenakan topeng bapang berhidung panjang. Mungkin karena para pelakunya mengenakan topeng itulah, maka teater jenis ini dahulu disebut pertunjukan topeng, yang berlanjut sampai dewasa ini, walaupun sekarang dalam perkembangannya tidak lagi seperti masa-masa lalu. Sebagaimana kita ketahui pada masa kini hanya pemeran Bapak Jantuk dan penari yang menarikan tari topeng tiga yang tampil bertopeng. Tari topeng tiga, juga biasa disebut tari kedok tiga atau disingkat menjadi tari topeng tunggal. Penarinya tampil dengan berturut-turut mengenakan kedok Panji, Samba dan Kelana atau Jingga. Kedok Panji berwarna putih, bentuk matanya liyepan, setengah tertutup. Samba berwarna kemerah-merahan dengan bentuk mata lanyapan, lebih terbuka disbanding liyepan. Kelana atau Jingga berwarna merah tua, bentuk matanya delengan, melotot. (ziz)

(sumber : pelatihan pembuatan topeng betawi, balai latihan kesenian asem baris jaksel)

Kebangkitan Kebudayaan Betawi

GambarKebangkitan kembali kebudayaan Betawi melalui perjuangan sastrawan Firman Muntaco yang membuat tulisan serial dengan gaya Betawi di SK Mingguan Berita Minggu sejak tahun 1957. Sebelumnya sastrawan SM Ardan menerbitkan kumpulan Cerpen Terang Bulan Terang Di Kali bergaya Betawi, tapi Firman Muntaco lebih fenomenal. Sampai tahun 1970 Pemerintah Kota Jakarta dalam setiap acara-acara resminya hanya menampilkan kesenian Sunda. Kesenian Melayu Betawi tak mendapat tempat. Meskipun sejak tahun 1958 ada usaha membangkitkan pergerakan masyarakat Betawi, tapi usaha ini tak banyak membawa hasil. Gubernur Ali Sadikin menggebrak Jakarta dengan mengeluarkan kebijakan memihak kesenian Betawi. Beberapa kesenian Betawi dimunculkan dan dihidupkan kembali. TIM sebagai arena pertunjukan kesenian sejak tahun 1969 dimanfaatkan seniman/sastrawan SM Ardan, Ali Shahab, D Djayakusuma, Soemantri Sastrosoewondo untuk membangkitkan Teater Tradisional Betawi (Lenong). Usaha ini menampakkan hasil yang sangat diluar dugaan. Ratusan penonton memenuhi TIM menyaksikan pertunjukan Lenong. Namun, empat serangkai itu terlalu fokus pada Lenong. Perekrutan seniman yang hantam kromo, tanpa membedakan latar belakangnya, pada gilirannya merugikan kesenian lain, seperti Topeng. Saking terkenalnya Lenong, maka publik mengenal semua jenis pementasan Teater Tradisional Betawi selalu dianggapnya Lenong. Padahal yang mereka tonton adalah pementasan Topeng, itulah yang merugikan Topeng. (ziz)

(dari berbagai sumber)